Rabu, 07 Desember 2011
Cegah Fraud, Mandiri Gunakan 3 Level Audit
JAKARTA - PT Bank Mandiri Tbk (BMRI) menegaskan melakukan audit khusus untuk mencegah adanya fraud di dalam tubuh perseroan.
"Audit khusus, ada pasti, ada tiga level untuk kita mencegah fraud," ungkap Direktur Utama Bank Mandiri Zulkifli Zaini, di Jakarta, Jumat (29/4/2011).
Dijelaskannya, setiap unit diwajibkan menjaga unit masing-masing dan adanya internal kontrol membantu di setiap wilayah yang mengontrol cabang terhadap terjadinya fraud. Kemudian adanya unit direktorat, yang memantau apabila terjadi sesuatu di cabang-cabang.
"Unit direktorat, apabila terjadi susuatu di cabang-cabang. Mudah-mudahan lebih baik lah mencegah fraud kita," pungkasnya. (ade)
Jumat, 14 Oktober 2011
Kecurangan Internal Perbankan Indonesia
Oleh: Launa, SIP MM
Rasa cemas dan gemas mungkin menjadi kalimat yang pas untuk melukiskan suasana batin para nasabah perbankan negeri ini. Betapa tidak, kasus kecurangan internal (internal fraud) dunia perbankan dengan modus pembobolan rekening nasabah Citibank senilai Rp 17 miliar kembali menyeruak.
Rasa cemas dan gemas mungkin menjadi kalimat yang pas untuk melukiskan suasana batin para nasabah perbankan negeri ini. Betapa tidak, kasus kecurangan internal (internal fraud) dunia perbankan dengan modus pembobolan rekening nasabah Citibank senilai Rp 17 miliar kembali menyeruak.
Melinda Dee alias Inong Melinda, Senior Relation Manager yang telah mengabdi selama 22 tahun di Citibank, melakukan pembobolan dan menimbun hasil kejahatannya itu dalam bentuk perusahaan entertainment, apartemen, tabungan, dan koleksi beberapa mobil mewah.
Sebelum kasus Citibank mencuat, kejahatan yang melibatkan ‘orang dalam’ di banyak institusi perbankan nasional sebenarnya telah berlangsung lama.
Sepanjang empat tahun terakhir setidaknya tercatat sembilan bank yang telah menjadi korban pembobolan: Bank Mandiri, BRI, BNI ’46, BII, BPR, Bank Danamon, Bank Victoria, Bank Panin, dan terakhir Citibank.
Angka kerugian yang diakibatkan kecurangan internal ini cukup fantastis. Bank Mandiri merugi Rp 18,7 miliar (angka itu belum termasuk penggelapan dana PT Taspen di Mandiri senilai Rp 110 miliar), BRI Rp 29 miliar, BNI Rp 4,5 miliar, BII Rp 3,6 miliar, Bank Panin Rp 2,5 miliar, Bank Danamon Rp 3 miliar, Bank Victoria Rp 7 miliar, BPR Rp 7 miliar, dan Citibank sekitar Rp 17 miliar.
Menurut harin Bisnis Indonesia total kerugian yang harus ditanggung negara akibat aksi kejahatan perbankan ini mencapai Rp 202,3 miliar.
Data Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) juga menunjukkan, penipuan adalah modus yang mendominasi kasus-kasus kejahatan di dunia perbankan.
Dari 119 kasus transaksi keuangan mencurigakan yang dilaporkan ke kepolisian, sebanyak 59 kasus atau 44,5 persen-nya merupakan kasus penipuan di dunia perbankan.
Pada Agustus 2007, PPATK juga merilis 8.056 transaksi keuangan mencurigakan, terdiri dari 7.730 transaksi keuangan di institusi perbankan dan 726 transaksi di lembaga non bank.
Sementara pada 2008, jumlah pengaduan mencapai 6.347 kasus dengan nilai penipuan sebesar Rp 19,4 miliar. Pada 2009 sebanyak 6498 kasus dengan kerugian Rp 62,9 miliar, dan pada 2010 mencapai 694 kasus dengan kerugian Rp 954 juta (Kompas 20/12/10).
Sementara itu, berdasarkan laporan dari 10 bank, Bank Indonesia (BI) merilis kasus penipuan yang berlangsung sejak 2007 hingga pertengahan 2010 mencapai 15.097 kasus dengan total kerugian yang menjadi tanggungan negara mencapai Rp 86,76 miliar.
Data di atas menunjukkan, fenomena kecurangan internal yang menimpa dunia perbankan adalah cermin rapuhnya sistem pengawasan internal perbankan nasional.
Banyak pihak meyakini, aksi kejahatan di dunia perbankan yang terungkap disinyalir masih sebagian kecil dari tumpukan kasus kejahatan besar dunia perbankan yang tersembunyi.
Lemahnya pengawasan internal diakibatkan orientasi bisnis perbankan nasional pascakrisis ekonomi 1998 yang lebih memaksimalkan pengucuran kredit komersial.
Kondisi tersebut membuat dunia perbankan hanya melakukan kehati-hatian (prudent) terhadap pengawasan eksternal (seperti ketatnya persyaratan kelayakan nasabah) dan mengabaikan pengawasan internal.
Orientasi bisnis perbankan yang hanya mengejar dana pihak ketiga membuat bank menjadi institusi yang konservatif. Kelengahan itu kerap dimanfaatkan ‘orang dalam’ yang mengetahui secara detail seluk-beluk kelemahan dalam sistem transaksi perbankan.
Lemahnya Sistem Pengawasan Internal (SPI) di industri perbankan nasional adalah potret rapuh sistem jaminan keamanan nasabah sebagai pemilik dana dan kian melicinkan jalan bagi hadirnya berbagai modus kejahatan di dunia perbankan.
Padahal, SPI merupakan upaya sistemik perbankan untuk mengurai risiko atas pengabaian mekanisme pengawasan, memperkuat akuntabilitas dari pengelola bank serta mengembangkan budaya pengendalian intern pada seluruh jenjang organisasi.
Asumsi bahwa industri perbankan mampu menjaga sistem keamanan internalnya faktual telah terbantahkan. Untuk itu, ke depan, SPI perlu mendapat perhatian serius dunia perbankan nasional, mengingat modus kejahatan banking crime kian mengejutkan, tak lagi sekedar pola lama (seperti penipuan melalui SMS, duplikasi kartu ATM dan kartu kredit, pencurian data nasabah melalui internet banking, dan memindahkan dana milik nasabah tanpa izin).
Tak ada cara yang lebih efektif selain pengetatan SPI, pembenahan sumberdaya manusia, dan perbaikan regulasi perbankan guna mengantisipasi terjadinya berbagai bentuk kejahatan, penyimpangan, dan pencurian dana nasabah.
Ke depan, regulasi perbankan perlu diperkuat dan diperketat. Tujuannya untuk menjaga integritas dunia perbankan dari ancaman para pencuri
Sebelum kasus Citibank mencuat, kejahatan yang melibatkan ‘orang dalam’ di banyak institusi perbankan nasional sebenarnya telah berlangsung lama.
Sepanjang empat tahun terakhir setidaknya tercatat sembilan bank yang telah menjadi korban pembobolan: Bank Mandiri, BRI, BNI ’46, BII, BPR, Bank Danamon, Bank Victoria, Bank Panin, dan terakhir Citibank.
Angka kerugian yang diakibatkan kecurangan internal ini cukup fantastis. Bank Mandiri merugi Rp 18,7 miliar (angka itu belum termasuk penggelapan dana PT Taspen di Mandiri senilai Rp 110 miliar), BRI Rp 29 miliar, BNI Rp 4,5 miliar, BII Rp 3,6 miliar, Bank Panin Rp 2,5 miliar, Bank Danamon Rp 3 miliar, Bank Victoria Rp 7 miliar, BPR Rp 7 miliar, dan Citibank sekitar Rp 17 miliar.
Menurut harin Bisnis Indonesia total kerugian yang harus ditanggung negara akibat aksi kejahatan perbankan ini mencapai Rp 202,3 miliar.
Data Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) juga menunjukkan, penipuan adalah modus yang mendominasi kasus-kasus kejahatan di dunia perbankan.
Dari 119 kasus transaksi keuangan mencurigakan yang dilaporkan ke kepolisian, sebanyak 59 kasus atau 44,5 persen-nya merupakan kasus penipuan di dunia perbankan.
Pada Agustus 2007, PPATK juga merilis 8.056 transaksi keuangan mencurigakan, terdiri dari 7.730 transaksi keuangan di institusi perbankan dan 726 transaksi di lembaga non bank.
Sementara pada 2008, jumlah pengaduan mencapai 6.347 kasus dengan nilai penipuan sebesar Rp 19,4 miliar. Pada 2009 sebanyak 6498 kasus dengan kerugian Rp 62,9 miliar, dan pada 2010 mencapai 694 kasus dengan kerugian Rp 954 juta (Kompas 20/12/10).
Sementara itu, berdasarkan laporan dari 10 bank, Bank Indonesia (BI) merilis kasus penipuan yang berlangsung sejak 2007 hingga pertengahan 2010 mencapai 15.097 kasus dengan total kerugian yang menjadi tanggungan negara mencapai Rp 86,76 miliar.
Data di atas menunjukkan, fenomena kecurangan internal yang menimpa dunia perbankan adalah cermin rapuhnya sistem pengawasan internal perbankan nasional.
Banyak pihak meyakini, aksi kejahatan di dunia perbankan yang terungkap disinyalir masih sebagian kecil dari tumpukan kasus kejahatan besar dunia perbankan yang tersembunyi.
Lemahnya pengawasan internal diakibatkan orientasi bisnis perbankan nasional pascakrisis ekonomi 1998 yang lebih memaksimalkan pengucuran kredit komersial.
Kondisi tersebut membuat dunia perbankan hanya melakukan kehati-hatian (prudent) terhadap pengawasan eksternal (seperti ketatnya persyaratan kelayakan nasabah) dan mengabaikan pengawasan internal.
Orientasi bisnis perbankan yang hanya mengejar dana pihak ketiga membuat bank menjadi institusi yang konservatif. Kelengahan itu kerap dimanfaatkan ‘orang dalam’ yang mengetahui secara detail seluk-beluk kelemahan dalam sistem transaksi perbankan.
Lemahnya Sistem Pengawasan Internal (SPI) di industri perbankan nasional adalah potret rapuh sistem jaminan keamanan nasabah sebagai pemilik dana dan kian melicinkan jalan bagi hadirnya berbagai modus kejahatan di dunia perbankan.
Padahal, SPI merupakan upaya sistemik perbankan untuk mengurai risiko atas pengabaian mekanisme pengawasan, memperkuat akuntabilitas dari pengelola bank serta mengembangkan budaya pengendalian intern pada seluruh jenjang organisasi.
Asumsi bahwa industri perbankan mampu menjaga sistem keamanan internalnya faktual telah terbantahkan. Untuk itu, ke depan, SPI perlu mendapat perhatian serius dunia perbankan nasional, mengingat modus kejahatan banking crime kian mengejutkan, tak lagi sekedar pola lama (seperti penipuan melalui SMS, duplikasi kartu ATM dan kartu kredit, pencurian data nasabah melalui internet banking, dan memindahkan dana milik nasabah tanpa izin).
Tak ada cara yang lebih efektif selain pengetatan SPI, pembenahan sumberdaya manusia, dan perbaikan regulasi perbankan guna mengantisipasi terjadinya berbagai bentuk kejahatan, penyimpangan, dan pencurian dana nasabah.
Ke depan, regulasi perbankan perlu diperkuat dan diperketat. Tujuannya untuk menjaga integritas dunia perbankan dari ancaman para pencuri
Kecurangan seleksi calon pegawai negeri sipil (CPNS) di daerah beragam mulai dari lulus ganda, peserta seleksi di bawah umur, kasus ijazah palsu, dan kolusi. Para peserta yang lulus CPNS kental dengan praktik-praktik sogok dan nepotisme.
Kecurangan yang terjadi berbeda-beda di tiap daerah. Di Provinsi Bangka Belitung (Babel) kasus lulus ganda atau dobel nama yang paling menonjol. “Dobel nama atas nama Setia Ningsih ada di Provinsi Bangka Belitung dan Pemda Bangka Barat. Itu indikasi permainan Joki,” kata Dewan Pengurus Daerah Komite Nasional Pemuda Indonesia (DPD KNPI) Provinsi Babel Fahrizan, kemarin.
Kasus lain di Babel, ujar Fahrizan, yaitu kasus ketentuan umur atas nama Susanti, Retno Sufani, Doddy Hendra Sukmana, Odi Kurniawan, dan Novita Nuraini. Mereka, sambungnya, berusia melebihi ketentuan, tapi diperbolehkan ikut sebagai peserta ujian seleksi CPNS. “Ini juga mengindikasikan adanya kecurangan pihak Badan Kepegawaian Daerah Babel,” ujarnya.
Masih soal umur, lanjutnya, kasus Kiki Wulandari yang belum cukup umur tapi diperbolehkan ikut ujian seleksi di BKD Kota Pangkalpinang. “Atas nama Lulu Malika yang terindikasi ijazah palsu juga diperbolehkan ujian seleksi,” kata Fahrizan.
Pengumuman rangking, kata dia, yang sampai saat ini tidak bisa diakses publik mengindikasikan bahwa pemerintah menetapkan CPNS yang lulus tidak berdasarkan peringkat nilai tertinggi. “Sampai sekarang peserta tidak bisa melihat atau mengakses nilai mereka. Mana janjinya bisa diakses, itu sama aja dengan menipu para peserta,” tegasnya.
Dari Klaten, Jawa Tengah, dilaporkan uang sogok agar lulus CPNS sebesar Rp150 juta. Namun, isu miring itu dibantah oleh Kepala Badan Kepegawaian Daerah (BKD) Pemkab Klaten Purwanto Anggono Cipto. “Rumor itu tidak benar. Saya pun sering dapat SMS (short message service) seperti itu. Sebab, yang menentukan seseorang diterima atau tidak itu bukan bupati atau kepala BKD. Kami hanya pelaksana saja,” katanya kemarin.
Sementara itu, di DI Yogyakarta pengangkatan tenaga honorer yang terlalu banyak yang tidak sesuai dengan kompetensi menutup peluang bagi peserta CPNS sarjana baru tamat. Provinsi DIY sendiri masih kekurangan kira-kira 2.500 formasi yang memiliki kompetensi sesuai dengan yang dibutuhkan.
“Banyak tenaga honorer yang diangkat, konsekuensinya tidak semua yang diangkat sesuai dengan kompetensi yang dibutuhkan,” kata Kepala BKD DI Yogyakarta Sudibyo, kemarin. Sekretaris Komisi A DPRD DI Yogyakarta Arif Noor Hartanto menilai proses seleksi CPNS di Yogyakarta telah steril dan transparan. (RF/JS/AT/N-4) -media indonesia
Kamis, 13 Oktober 2011
FRAUD (KECURANGAN) : APA DAN MENGAPA?
Kita sering mendengar maupun membaca artikel dan berita mengenai adanya
indikasi fraud atau kecurangan/penyimpangan pada suatu perusahaan atau instansi
pemerintah yang dilakukan oleh karyawan/pegawainya. Maraknya berita mengenai
investigasi terhadap indikasi penyimpangan (fraud) di dalam perusahaan dan juga
pengelolaan negara di surat kabar dan televisi semakin membuat sadar bahwa kita
harus melakukan sesuatu untuk membenahi ketidakberesan tersebut. Walaupun saat
ini sorotan utama sering terjadi pada manajemen puncak perusahaan, atau terlebih
lagi terhadap pejabat tinggi suatu instansi, namun sebenarnya penyimpangan
perilaku tersebut bisa juga terjadi di berbagai lapisan kerja organisasi.
Upaya penegakan hukum terhadap tindakan fraud selama ini kurang
membawa hasil. Tindakan yang dilakukan pemerintah untuk memperbaiki keadaan
secara keseluruhan belum menunjukkan tanda-tanda keberhasilan yang signifikan.
Efektivitas ketentuan hukum tidak dapat dicapai apabila tidak didukung norma dan
nilai etika dari pihak terkait. Dalam konteks suatu organisasi, nilai etika dan moral
perorangan harus muncul sebagai aturan etika organisasi yang telah terkodifikasi
sebagai kode etik dan kelengkapannya.
Fraud (kecurangan) itu sendiri secara umum merupakan suatu perbuatan
melawan hukum yang dilakukan oleh orang-orang dari dalam dan atau luar
organisasi, dengan maksud untuk mendapatkan keuntungan pribadi dan atau
kelompoknya yang secara langsung merugikan pihak lain. Orang awam seringkali
mengasumsikan secara sempit bahwa fraud sebagai tindak pidana atau perbuatan
korupsi
Langganan:
Komentar (Atom)

