Jumat, 14 Oktober 2011

Kecurangan Internal Perbankan Indonesia
Oleh: Launa, SIP MM
 
Rasa cemas dan gemas mungkin menjadi kalimat yang pas untuk melukiskan suasana batin para nasabah perbankan negeri ini. Betapa tidak, kasus kecurangan internal (internal fraud) dunia perbankan dengan modus pembobolan rekening nasabah Citibank senilai Rp 17 miliar kembali menyeruak.
Melinda Dee alias Inong Melinda, Senior Relation Manager yang telah mengabdi selama 22 tahun di Citibank, melakukan pembobolan dan menimbun hasil kejahatannya itu dalam bentuk perusahaan entertainment, apartemen, tabungan, dan koleksi beberapa mobil mewah.
 
Sebelum kasus Citibank mencuat, kejahatan yang melibatkan ‘orang dalam’ di banyak institusi perbankan nasional sebenarnya telah berlangsung lama. 
 
Sepanjang empat tahun terakhir setidaknya tercatat sembilan bank yang telah menjadi korban pembobolan: Bank Mandiri, BRI, BNI ’46, BII, BPR, Bank Danamon, Bank Victoria, Bank Panin, dan terakhir Citibank.
 
Angka kerugian yang diakibatkan kecurangan internal ini cukup fantastis. Bank Mandiri merugi Rp 18,7 miliar (angka itu belum termasuk penggelapan dana PT Taspen di Mandiri senilai Rp 110 miliar), BRI Rp 29 miliar, BNI Rp 4,5 miliar, BII Rp 3,6 miliar, Bank Panin Rp 2,5 miliar, Bank Danamon Rp 3 miliar, Bank Victoria Rp 7 miliar, BPR Rp 7 miliar, dan Citibank sekitar Rp 17 miliar.

Menurut harin Bisnis Indonesia total kerugian yang harus ditanggung negara akibat aksi kejahatan perbankan ini mencapai Rp 202,3 miliar. 
 
Data Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) juga menunjukkan, penipuan adalah modus yang mendominasi kasus-kasus kejahatan di dunia perbankan. 
 
Dari 119 kasus transaksi keuangan mencurigakan yang dilaporkan ke kepolisian, sebanyak 59 kasus atau 44,5 persen-nya merupakan kasus penipuan di dunia perbankan.
 
Pada Agustus 2007, PPATK juga merilis 8.056 transaksi keuangan mencurigakan, terdiri dari 7.730 transaksi keuangan di institusi perbankan dan 726 transaksi di lembaga non bank. 
 
Sementara pada 2008, jumlah pengaduan mencapai 6.347 kasus dengan nilai penipuan sebesar Rp 19,4 miliar. Pada 2009 sebanyak 6498 kasus dengan kerugian Rp 62,9 miliar, dan pada 2010 mencapai 694 kasus dengan kerugian Rp 954 juta (Kompas 20/12/10).
 
Sementara itu, berdasarkan laporan dari 10 bank, Bank Indonesia (BI) merilis kasus penipuan yang berlangsung sejak 2007 hingga pertengahan 2010 mencapai 15.097 kasus dengan total kerugian yang menjadi tanggungan negara mencapai Rp 86,76 miliar. 
 
Data di atas menunjukkan, fenomena kecurangan internal yang menimpa dunia perbankan adalah cermin rapuhnya sistem pengawasan internal perbankan nasional. 
Banyak pihak meyakini, aksi kejahatan di dunia perbankan yang terungkap disinyalir masih sebagian kecil dari tumpukan kasus kejahatan besar dunia perbankan yang tersembunyi.
 
Lemahnya pengawasan internal diakibatkan orientasi bisnis perbankan nasional pascakrisis ekonomi 1998 yang lebih memaksimalkan pengucuran kredit komersial. 
 
Kondisi tersebut membuat dunia perbankan hanya melakukan kehati-hatian (prudent) terhadap pengawasan eksternal (seperti ketatnya persyaratan kelayakan nasabah) dan mengabaikan pengawasan internal.
 
Orientasi bisnis perbankan yang hanya mengejar dana pihak ketiga membuat bank menjadi institusi yang konservatif. Kelengahan itu kerap dimanfaatkan ‘orang dalam’ yang mengetahui secara detail seluk-beluk kelemahan dalam sistem transaksi perbankan.
 
Lemahnya Sistem Pengawasan Internal (SPI) di industri perbankan nasional adalah potret rapuh sistem jaminan keamanan nasabah sebagai pemilik dana dan kian melicinkan jalan bagi hadirnya berbagai modus kejahatan di dunia perbankan. 
 
Padahal, SPI merupakan upaya sistemik perbankan untuk mengurai risiko atas pengabaian mekanisme pengawasan, memperkuat akuntabilitas dari pengelola bank serta mengembangkan budaya pengendalian intern pada seluruh jenjang organisasi.
 
Asumsi bahwa industri perbankan mampu menjaga sistem keamanan internalnya faktual telah terbantahkan. Untuk itu, ke depan, SPI perlu mendapat perhatian serius dunia perbankan nasional, mengingat modus kejahatan banking crime kian mengejutkan, tak lagi sekedar pola lama (seperti penipuan melalui SMS, duplikasi kartu ATM dan kartu kredit, pencurian data nasabah melalui internet banking, dan memindahkan dana milik nasabah tanpa izin).
 
Tak ada cara yang lebih efektif selain pengetatan SPI, pembenahan sumberdaya manusia, dan perbaikan regulasi perbankan guna mengantisipasi terjadinya berbagai bentuk kejahatan, penyimpangan, dan pencurian dana nasabah. 
 
Ke depan, regulasi perbankan perlu diperkuat dan diperketat. Tujuannya untuk menjaga integritas dunia perbankan dari ancaman para pencuri

Tidak ada komentar:

Posting Komentar